Penulis: dr. Annisa Inayati
Malam itu, Dinda duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop dengan kepala yang terasa berat. Sejak beberapa bulan terakhir, ia sering mengalami sakit perut tanpa sebab yang jelas. Sudah beberapa kali ia memeriksakan diri ke dokter, namun hasilnya selalu sama: tidak ada masalah medis yang ditemukan. "Mungkin ini hanya karena kecapekan," pikirnya. Tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar lelah.
Dinda adalah seorang pekerja kantoran yang ambisius. Ia selalu ingin memberikan yang terbaik, tetapi tuntutan kerja yang tinggi sering membuatnya merasa tertekan. Tanpa ia sadari, stres yang berkepanjangan mulai memengaruhi tubuhnya. Rasa cemas yang datang setiap malam sebelum tidur menyebabkan jantungnya berdebar lebih cepat. Setiap kali ada tenggat waktu mendekat, perutnya mulai melilit tanpa alasan. Hingga suatu hari, seorang teman menyarankan, "Mungkin ini psikosomatik. Coba kamu cari tahu tentang itu."
Psikosomatik adalah kondisi ketika pikiran yang tidak sehat menciptakan gejala fisik pada tubuh. Ini bukan berarti seseorang berpura-pura sakit, melainkan kondisi mental mereka benar-benar berdampak pada kesehatan fisik. Dalam kasus Dinda, stres dan kecemasan mengganggu sistem pencernaannya, membuatnya mengalami nyeri yang nyata.
Saat mencari tahu lebih lanjut, Dinda menemukan bahwa stres dapat memengaruhi tubuh melalui beberapa mekanisme:
Sistem Neurotransmitter: Hormon serotonin yang mengatur suasana hati bisa terganggu, menyebabkan kecemasan dan depresi.
Respon Endokrin: Tubuh melepaskan hormon kortisol saat stres. Jika ini terjadi terus-menerus, bisa melemahkan tubuh dan meningkatkan risiko berbagai penyakit.
Respon Imun: Stres kronis dapat menurunkan daya tahan tubuh, membuat seseorang lebih rentan terkena penyakit.
Dinda mulai menyadari bahwa selama ini, ia telah mengabaikan kesehatannya sendiri. Ia pun mencari lebih banyak informasi tentang gangguan psikosomatik dan menemukan beberapa jenisnya, seperti:
Gangguan somatisasi, yang menyebabkan berbagai keluhan fisik seperti nyeri kronis dan masalah pencernaan tanpa penyebab medis yang jelas.
Pain disorder, ketika seseorang mengalami nyeri tanpa ada kerusakan fisik yang signifikan.
Hipokondriasis, yaitu ketakutan berlebihan terhadap penyakit meskipun tidak ada bukti medis.
Dinda mulai bertanya-tanya, "Kalau ini benar terjadi padaku, bagaimana cara mengatasinya?" Ia kemudian menemukan beberapa strategi yang bisa membantu:
Psikoterapi Suportif: Berbicara dengan seseorang yang bisa memberikan dukungan emosional ternyata bisa sangat membantu dalam mengurangi stres.
Terapi Kognitif Perilaku (CBT): Teknik ini membantu seseorang mengubah pola pikir negatif yang memicu stres dan gejala psikosomatik.
Relaksasi dan Hipnosis: Meditasi, pernapasan terkontrol, dan biofeedback terbukti dapat membantu menurunkan ketegangan fisik dan emosional.
Pelan-pelan, Dinda mulai mencoba menerapkan teknik-teknik ini dalam kehidupannya. Ia mulai meluangkan waktu untuk meditasi setiap pagi, mengurangi beban kerja yang berlebihan, dan berbicara dengan seorang terapis. Meskipun perubahannya tidak instan, dalam beberapa minggu, ia mulai merasakan perbedaan. Sakit perut yang dulu sering menyerang kini mulai berkurang. Tidurnya lebih nyenyak, dan ia merasa lebih tenang menghadapi tantangan sehari-hari.
Dari pengalaman ini, Dinda belajar satu hal penting: kesehatan mental dan fisik tidak bisa dipisahkan. Pikiran yang sehat akan menciptakan tubuh yang sehat. Kini, ia tidak lagi mengabaikan sinyal-sinyal yang diberikan tubuhnya. Sebab ia tahu, kesejahteraan mental adalah kunci untuk hidup yang lebih baik.
Sudiyanto, A. (2007). Cognitive Behaviour Therapy dalam Psikoterapi: Pendekatan untuk Mengubah Status Kognitif dan Perilaku.
Erwin, K. (2008). Hypnotherapy sebagai Terapi Pemberdayaan Pikiran Bawah Sadar.
Comments
Post a Comment