TOXIC PRODUCTIVITY



Penulis : Glory Sepsi Sinaga, S.Psi


Setiap hari, setiap orang selalu dituntut untuk selalu produktif. Banyak motivator yang menyayangkan jika individu memakai waktunya untuk hal-hal tidak berguna. Produktif itu memang pilihan yang baik dibandingkan bermalas-malasan. Tetapi bagaimana jika kamu merasa sudah mengorbankan diri kamu, kesehatan mental, kesehatan fisik, waktu bersama orang-orang berharga, me time, dan tidak pernah lagi ambil jeda untuk beristirahat? Bisa jadi kamu bukan sekedar produktif, tapi sudah mengalami yang namanya Toxic Productivity.

Ternyata terlalu produktif juga bisa menjadi racun bagi diri sendiri (Horton International, 2024). Menurut Dr. Julie Smith - seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris -, Toxic Productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa selalu setuju jika tidak bisa melakukan banyak hal (BBC, 2020). Memiliki keinginan yang kuat untuk mempunyai banyak pencapaian-pencapaian melampaui batas kemampuan yang dimiliki oleh seseorang.

Istilah lainnya adalah hidup sudah tidak lagi “Work Life Balance”. Individu hanya ingin bekerja terus-menerus dan memiliki rasa bersalah jika beristirahat. Rasanya perlu membuktikan sesuatu dari bekerja dan merasa cemas jika tidak bekerja (Horton International, 2024). Hanya ingin bekerja lebih ekstra setiap hari, sehingga banyak masalah tidak hanya berdampak pada pekerjaan tetapi pada semua aspek kehidupan.

         Burnout atau merasa tidak bisa lagi melakukan sesuatu yang membuat happy, memiliki rasa bersalah jika tidak produktif, tidak pernah puas, memprioritaskan makan, tidur, dan berkumpul dengan keluarga bukan lagi menjadi prioritas adalah ciri-ciri Toxic Productivity. Cemas, sensitive, dan rentan terhadap stress menjadi dampak buruk dari Toxic Productivity. Toxic Productivity  bukan hanya dialami kerja kantoran, atau orang-orang dewasa yang sudah bekerja ya. Ternyata pelajar atau mahasiswa bisa juga lho mengalaminya (Ramadhina, Safitr, Fahriza, & Fadilah, 2023). Mahasiswa yang mengalami Toxic Productivity merasakan fokus pada nilai-nilai kuliah dan belajar terus menerus akan memberikan dampak positif ternyata malah sebaliknya. Beberapa ditemukan mahasiswa kehilangan waktu berharga bersama keluarga, memiliki komunikasi yang buruk dan ada perasaan bersalah jika istirahat (Ramadhina, Safitr, Fahriza, & Fadilah, 2023).

        Hal yang pertama yang harus dilakukan untung mengatasi toxic productivity adalah aware terlebih dahulu. Setelah sudah menyadari keadaan yang dialami, boleh buat jadwal prioritas dan atur kembali manajemen waktu dalam pekerjaan, tugas sekolah atau tugas perkuliahan. Jika merasa sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasi  toxic productivity secara mandiri, tetapi tidak berhasil, silahkan konsultasi ke psikolog atau psikiater.

 

Referensi:

BBC. (2020, Mei 18). BBC. Dipetik November 2024, dari Youtube BBC : Toxic Productivity during lockdown: https://www.youtube.com/watch?reload=9&app=desktop&v=r-rht7kCASo

Horton International, H. (2024). Understanding Toxic Productivity: The Pitfalls and Solutions. Diambil kembali dari Horton International: https://hortoninternational.com/what-is-toxic-productivity/

Ramadhina, C., Safitr, D., F. A., & Fadilah, Q. (2023). PENGENDALIAN “TOXIC PRODUCTIVITY “ DALAM MENJAGA KESEHATAN MENTAL PADA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA DI MASA PANDEMI COVID-19. Interaksi : Jurnal Ilmu Komuniasi, 250-266.

 

Comments

Popular posts from this blog

Bedanya kebutuhan emosi pria dan wanita

Evaluasi dan Refleksi Diri, Caranya?

Apa Itu Conformity?