Perfeksionisme dan Sampai Manakah Dapat Ditoleransi?

Perfeksionisme dan Sampai Manakah Dapat Ditoleransi?

Penulis: Rania Hendradwiputri, S.Psi


Tidak ada hal yang sempurna di dunia ini—kita pasti sudah sering mendengar kalimat itu. Tetapi, seorang perfeksionis sudah pastinya mengejar “kesempurnaan”, mengejar “hasil yang baik”, yang belum tentu ada dalam dunia ini. Sebetulnya, ketika perfeksionisme diikuti dengan pemikiran “tidak ada hal yang sempurna di dunia ini” tetapi tetap ingin melakukan yang terbaik, itu adalah versi “sehat” dari perfeksionisme. Mereka yang selalu berusaha untuk tampil secara maksimal dalam aspek apapun yang mereka jalani, mereka yang juga tahu bahwa mereka dapat melakukan suatu kesalahan tetapi mereka juga dapat memperbaiki itu, mereka yang dapat mengakui dan bangga atas pencapaian yang mereka miliki, itu adalah contoh dari sisi perfeksionisme yang sehat. Jadi, tidak selamanya perfeksionisme itu buruk. Tetapi, jika kita benar-benar mengejar “kesempurnaan” yang “tidak realistis”, kita mulai sering mengkritik diri sendiri karena kita merasa “tidak sempurna”, “gagal”, kita tidak pernah merasa puas dengan pencapaian kita, bahkan melakukan prokrastinasi atau takut untuk melakukan sesuatu karena “takut salah”, ini barulah contoh dari perfeksionisme yang tidak sehat. Artikel ini akan membahas tentang tidak selamanya perfeksionisme itu buruk dan sampai batas manakah kita dapat menoleransi perfeksionisme yang kita miliki.


Perfeksionisme yang sehat itu fleksibel dan selalu fokus menggapai tujuan. Menyusun sebuah gol, melaksanakan dan mulai mengejarnya, menyadari bahwa semua hal tidak akan selalu sempurna tetapi akan tetap melakukan semampunya, adalah contoh perfeksionisme yang sehat. Mereka menerapkan gol yang realistis dan dapat digapai oleh mereka, bahkan menyusun gol-gol kecil untuk mencapai gol itu. Lalu, mereka akan melaksanakannya semampu mereka dan tidak lupa juga untuk mengambil waktu istirahat bilamana mereka lelah. Bagi mereka, istirahat juga adalah proses untuk mencapai gol. Ketika mereka salah, mereka akan mengevaluasi dan merefleksikan kesalahan mereka dan akan diperbaiki, dicoba kembali tanpa ada ketakutan akan gagal lagi, karena gagal juga adalah bagian dari proses. Mereka juga tidak takut untuk bangga atas pencapaian mereka dan mengakui pencapaian yang telah mereka peroleh, karena mereka telah berjuang dengan baik untuk mencapai itu. Fokus mereka adalah mencapai gol dan menyelesaikan masalah yang datang dalam pencapaian gol tersebut. Terdengar baik, bukan? Tetap memanusiakan diri sendiri dengan menoleransi gagal, dengan menyempatkan diri untuk istirahat, tetapi pantang menyerah dan selalu fokus pada gol.


Yang di atas adalah contoh manifestasi perfeksionisme yang sehat. Nah, perfeksionisme yang tidak sehat mungkin sudah sering Soulmate LYS dengar di media sosial yang membahas tentang perfeksionisme. Perfeksionisme yang “ekstrem”, perfeksionisme yang “berlebihan”, dapat menjurus ke penurunan kesehatan dan kesejahteraan mental, hingga menimbulkan kecemasan dan depresi. Contohnya bagaimana? Ketika kita terus-menerus fokus untuk mencapai gol, tetapi kita tidak memberikan waktu untuk diri kita sendiri istirahat, itu adalah salah satu contoh. Contoh lain adalah takut untuk melakukan sesuatu atau bahkan melakukan prokrastinasi karena “takut salah”, “menunggu mood yang pas”, dan alasan-alasan lainnya. Sering mengkritik diri sendiri “bodoh”, “tidak sempurna”, “pekerjaanmu jelek” juga adalah contoh lain. Ketika kita baru mau mengakui bahwa kita “bekerja” ketika kita mencapai hasil yang menurut kita “baik” juga adalah contoh lain, padahal mau bagaimanapun hasilnya, kita sudah bekerja. Kita sudah melakukan yang terbaik. Bahkan, merasa tertekan, tidak bisa membanggakan hasil pekerjaan kita adalah tanda-tanda ketika perfeksionisme kita perlu ditanggulangi agar tidak “merusak” mental dan psikologis, serta fisik kita.


Sampai manakah kita dapat menoleransi perfeksionisme? Jika kamu merasa lebih relate dengan perfeksionisme yang tidak sehat, mungkin kamu memerlukan bantuan untuk membenahi mindset perfeksionisme yang kamu miliki. Ingin semuanya “berjalan dengan baik”, “terlihat bagus” itu tidak salah sama sekali, itu manusiawi. Tidak ada yang salah jadi seorang perfeksionisme. Tetapi yang perlu ditanggulangi lebih lanjut adalah jika perfeksionisme itu sudah membuat kita tidak bisa menjalani kehidupan kita dengan bahagia. Jika perfeksionisme itu sudah membuat kita tertekan, manalagi kita jadi sering mengucapkan kata-kata buruk pada diri kita sendiri, manalagi kita jadi lebih critical pada orang lain dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap orang lain padahal “tidak ada yang sempurna”, itu tandanya sisi perfeksionisme kita perlu ada penyesuaian kembali. Mengunjungi psikolog dan dapat dukungan dari orang-orang yang dipercayai dapat menyelesaikan ini, serta kerjasama dari diri sendiri untuk mulai mengubah mindset. Tidak mudah untuk mengubah mindset, tetapi bukan artinya mustahil. Kamu pasti bisa melakukannya, Soulmate LYS!


Ingat, you did well, you’ve done great, even though you think you don’t. Kamu sudah melakukan dan mengusahakan yang terbaik. And you’ll ace this, too. Ke depannya kamu juga akan melakukan dan mengusahakan yang terbaik pula semampumu. Minlove loves you!


SUMBER REFERENSI

Hoffman, Dr. J. (2018, November 21). Perfectionism: Looking for a Perfect Path to a Place That Doesn’t Exist. Neurobehavioral Institute. Retrieved from https://www.nbiweston.com/post/perfectionism-looking-for-a-perfect-path-to-a-place-that-doesn-t-exist

Samaritan Health Services. (2021, May 10). Is it healthy to be a perfectionist? Retrieved from https://www.samhealth.org/about-samaritan/news-search/2021/05/10/is-perfectionism-healthy-tame-your-inner-taskmaster

Comments

Popular posts from this blog

Bedanya kebutuhan emosi pria dan wanita

Evaluasi dan Refleksi Diri, Caranya?

Apa Itu Conformity?