Mengenal dan Memahami Duck Syndrome
“Diatas panggung mereka terlihat seperti orang paling
bahagia
Siapa yang tahu dibelakang panggung?”
Beberapa media membongkar sisi
gelap atau sisi sulitnya menjadi seorang idola korea
Jika melihat social media seseorang,
tampaknya hidup mereka baik-baik saja, indah, seperti tidak ada masalah. Traveling,
kuliner-an, stay cation, punya barang-barang branded,
tapi siapa yang tahu kehidupan offline-nya seperti apa. Setiap
orang selalu berusaha memperlihatkan bahwa kehidupannya sempurna dan bahagia.
Jarang ada yang memperlihatkan bahwa hidup mereka sedang dilanda banyak
masalah. Banyak kasus bunuh diri artis, musisi, yang menggemparkan pengemarnya.
Karena penggemar merasa selama ini mereka terlihat fine-fine saja.
Apakah soulmate LYS punya orang terdekat yang tampaknya kehidupannya selama ini
sempurna dari tampilan luar mereka, tapi ternyata bagian dalam diri sangat
berantakan? Atau mungkin itu adalah diri kita sendiri? Jangan sampai ternyata
kita yang terkena duck syndrome ya.
Duck Syndrome, yaitu suatu keadaan dimana seseorang terlihat baik-baik saja, padahal sedang berjuang sekeras mungkin untuk menanggulangi berbagai masalah yang sedang dihadapi. Istilah ini diambil dari analogi seekor bebek di sungai yang berenang anggun kesana kemari, padahal kakinya di bawah permukaan air bergerak terus-menerus menjaga keseimbangan badannya supaya tidak tenggelam.
Duck syndrome (Sindrom bebek berenang) merujuk pada perilaku dimana seseorang dari luar (penampilannya) terlihat tenang, cool, kalem tetap sebenarnya sedang diliputi banyak kecemasan (Dewi, 2021). Duck Syndrome atau sindrom bebek pertama kali dikemukakan di Stanford University, Amerika Serikat, untuk menggambarkan persoalan para mahasiswanya (Standford University, Student Affair,2021).
Banyak orang mengidentifikasikan diri mereka dengan gambaran ini karena mereka merasa harus menjaga ketenangan sambil berjuang untuk mengimbangi orang lain. Duck Syndrome, bukanlah penyakit mental atau diagnosis kesehatan mental yang formal
Perkembangan psikososial pada dewasa awal menurut Erikson adalah intimasi (intimacy) versus isolasi (isolation) merupakan isu utama pada dewasa awal. Seorang dewasa awal tidak dapat membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain (intimacy), menurut Erikson, maka mereka akan terisolasi dan self absorb (terpaku pada kegiatan dan pikirannya sendiri. Disisi lain, mereka juga butuh kesendirian (isolasi) sebagai upaya merefleksikan kehidupan yang mereka miliki. Ketika mereka berusaha menyelesaikan kehidupan yang mereka miliki. Dewasa awal berusaha menyelesaikan tuntutan saling berlawanan tersebut mereka mengembangkan pemahaman etis, yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan (Papalia dkk, 2009). Tujuan yang diinginkan oleh setiap individu yang berada dalam usia dewasa awal adalah membangun identitas yang matang dan memiliki hubungan yang dekat dan positif dengan orang lain.
Dituntut harus serba bisa dan selalu tampak kuat karena sudah dewasa, membuat seseorang selalu menampakkan dirinya bahwa ia baik-baik saja, dan tampak bahagia dari luar. Takut dibilang cengeng, rapuh, gak punya kehidupan, membuat orang muda jarang mengakui emosi yang ia alami. Sulitnya menemukan teman yang bisa dipercaya, tidak mudah membangun relationship dengan lawan jenis adalah factor yang lain. Memakai topeng setiap hari ke tempat kerja, di keluarga dan dimana saja. Merasa baik-baik saja tidak memiliki pasangan, disisi lain sebanarnya selalu merasa kesepian.
Usia 40-an yaitu dewasa madya biasanya adalah orang-orang memberi tekanan pada diri mereka sendiri untuk berhasil atau merasa bahwa mereka harus memenuhi ekspektasi yang tinggi. Hidup mereka harus sempurna, diam-diam bekerja keras untuk menjaga semuanya tetap terkendali. Berpolitik di tempat kerja supaya cepat naik jabatan tidak peduli teman makan teman. Tas harus branded, rumah harus mewah, anak harus sekolah di sekolah yang bonafit, jangan lupa kalau kekondangan harus memakai perhiasan terbuat dari emas berlian. Apapun itu, supaya orang lain memandang hidup mereka sangat perfect. Belum lagi tuntutan social media, tempat instant membandingkan diri
Hal inilah yang menyebabkan orang dewasa rentan terhadap duck syndrome. Meski merasakan banyak tekanan dan stres, sebagian penderita duck syndrome masih bisa produktif dan beraktivitas dengan baik. Namun, orang yang mengalami duck syndrome dalam jangka panjang berisiko untuk mengalami masalah kejiwaan tertentu, seperti gangguan cemas, depresi bahkan bunuh diri
Gejala lainnya adalah:
1.
Perfeksionis
2.
Timbul
rasa insecure, suka membandingkan
diri dengan orang lain
3.
Tidak
mencintai proses yang terjadi dalam diri sendiri
4.
Gangguan
tidur dan gangguan makan
5.
Kesulitan
menenangkan pikiran
6.
Sampai
perubahan pola makan dan minum alcohol
berlebihan
Gejala diatas bisa saja menyerupai gangguan mental lainnya, tapi yang perlu di highlight adalah memaksakan diri seakan tampak baik-baik saja, tidak terbuka kepada orang lain, karena takut menjadi bahan pikiran. Dan menganggap bahwa sedang diamati dan diuji oleh orang lain, sehingga harus menujukkan kehidupan yang bahagia. Jika kamu mengalaminya saat ini, kamu mungkin takut dengan apa yang akan dipikirkan orang lain jika mereka mengetahui bahwa hidup kamu tidak sempurna. Kamu mungkin merasa, bahwa tidak ada yang bisa memahami apa yang kamu alami.
Kita semua mengalami masa-masa naik dan turun, dan penting bagi kita untuk mengakui hambatan-hambatan yang ada dan mencari dukungan daripada terus-terusan mengayuh ke atas permukaan. Seperti kepala bebek tenang yang meluncur melintasi air permukaan, tapi kakinya susah payah mengayuh dibawah permukaan air.
Lakukanlah sesuatu supaya tetap mendapatkan dukungan saat kamu berada di masa sulit kamu ya Soulmate LYS! Supaya hidup tidak berpura-pura.
Pertama, jangan biarkan kamu
terpuruk sendirian, berpura-pura mampu menjalani sesuatu itu tidak mudah,
apalagi dalam jangka waktu yang sangat lama. Jika sudah pakai topeng ditempat
kerja, cari sumber daya/seseorang dimana kamu tidak perlu memakai topeng. Bisa
teman kamu, bisa keluarga atau orang-orang terdekat. Bicaralah dengan mereka,
apa yang sebenarnya benar-benar terjadi dalam hidup kamu. Kamu juga bisa
melakukan jurnalling.
Kedua, carilah komunitas-komunitas
sebagai wadah kesehatan mental kamu. Dengan tidak berpura-pura menjalani segala sesuatu, kita juga dapat
membuat lebih banyak kemajuan dalam diri kita dan membantu orang lain. Menyadari bahwa tidak apa-apa untuk merasakan
tekanan ini dan bahwa aku, kamu, kita tidak sendirian. Kita dapat belajar untuk
saling mendukung dengan menyuarakan perjuangan kita bersama-sama.
Ketiga, terbiasalah untuk mencintai diri sendiri. Mengenali kemampuan,
kekuatan, kelemahan, sehingga tidak memaksa diri untuk menjalani hidup diatas
kapasitas kemampuan diri kita. Jangan membuat kecepatan orang lain menjadi
kecepatan kamu.Waktu setiap orang berbeda-beda lho. Orang lain menikah, kamu
jadi panik karna belum ada pasangan. Orang lain self recharge ke luar negeri, kamu juga ingin. Orang lain ganti handphone, orang lain beli tas branded kamu juga ingin, sampai-sampai kamu mau terlibat
pinjol (pinjaman online). Apalagi
ikut-ikutan orang lain punya sugar daddy.
Jangan yaa!
Terakhir, kalau sudah sampai
ditahap kecemasan yang sangat menganggu, memiliki pemikiran self harm atau sampai bunuh diri dan tidak bisa kamu
kendalikan. Segera temui psikolog untuk konseling atau psikoterapi.
"Kalau merasa sedih, sedihlah, jangan berpura-pura tidak
sedih. Kalau memang bahagia, bahagialah. Hidup terlalu singkat untuk dilewati
dengan berpura-pura kuat."
"Hal tersulit ketika kamu berpura-pura kuat adalah
orang-orang mulai berpikir bahwa kamu pasti akan baik-baik saja meski
disakiti."
Dewi, R. Z. (2021). Komunikasi Asertif Pada Mahasiswa Duck Syndrome Di Mojokerto. Jurnal komunikasi dan Sosial Humaniora, 2, 1-12.
Dokter, A. (2021). Aldo Dokter. Retrieved from Duck
Syndrome, Gangguan Psikologis yang Banyak Dialami Orang Dewasa Muda:
https://www.alodokter.com/duck-syndrome-gangguan-psikologis-yang-banyak-dialami-orang-dewasa-muda
Lina. (2019). IDM TIMES. Retrieved from 7 Sisi Gelap
di Balik Gemerlap dan Popularitas Idola KPop:
https://www.idntimes.com/hype/entertainment/lina-2/7-sisi-gelap-di-balik-gemerlap-dan-popularitas-idola-kpop-c1c2?page=all
Papalia,
D. E., Old s, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development
Perkembangan Manusia. Jakarta:
Salemba Humanika.
University, S. (2021). Stanford University Student
Affair. Retrieved from In Focus: Don’t Be a Duck! How to Resist the
Stanford Duck Syndrome:
https://studentaffairs.stanford.edu/the-flourish/flourish-october-2022/focus-dont-be-duck-how-resist-stanford-duck-syndrome#:~:text=The%20Stanford%20Duck%20Syndrome%20is,duck%20gliding%20across%20a%20fountain.
Comments
Post a Comment