Mengapa Produktif yang Berlebihan itu Berbahaya?
Hai, Soulmate LYS, para pembaca artikel Love Yourself Indonesia, apa kabar hari ini? Semoga kalian sehat fisik mental, ya.
Pada masa sekarang, tampak orang-orang tengah berbondong-bondong mengejar produktivitas yang tinggi. Kegiatan relawan, kelas online, training, seminar baik online maupun offline, workshop, magang, dan sebagainya, semuanya bertebaran di mana-mana. Banyak orang yang mengambil banyak kegiatan sekaligus dengan alasan yang bermacam-macam, seperti menambah pengalaman, memperluas relasi, mengembangkan kemampuan diri, mencoba hal baru, dan masih banyak lagi. Seluruh kegiatan di atas dapat dilakukan oleh mereka sambil sekolah, kuliah, kerja, atau bahkan mengurus rumah tangga, mengenalkan kita pada istilah multitasking, yakni mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
Akan tetapi, apakah produktivitas memang seharusnya demikian? Apakah memiliki banyak aktivitas akan berdampak baik bagi kesejahteraan psikologis kita, atau justru jangan-jangan akan menjadi bumerang?
Nah, Soulmate LYS, ketika kita produktif, tetapi ternyata produktif itu malah “membahayakan” kita, mulai dari kesehatan mental hingga kesehatan fisik juga terganggu, itulah yang dinamakan toxic productivity. Ada kata toxic, tentu saja dampaknya akan negatif pada kita.
Waduh, kok bisa, ya? Padahal ‘kan memiliki banyak aktivitas semestinya positif dampaknya? Oh, sayangnya tidak selalu demikian, Soulmate LYS. Ya, memiliki banyak kegiatan untuk dilakukan sehari-hari memang bagus, tetapi jika sudah melampaui batas kemampuan mental, apalagi fisik kita, efeknya akan tidak baik pada kita lho.
Memangnya contoh toxic productivity itu bagaimana? Mari kita pakai contoh kasus.
Ada seorang mahasiswa semester akhir yang sedang mengerjakan skripsi sekaligus magang. Padahal, di semester akhir tersebut ada tiga mata kuliah yang beban tugasnya sangat berat, satu tugas saja bisa memakan waktu berhari-hari lamanya. Ditambah lagi, dia tengah aktif di dua organisasi kampus yang mengharuskannya sering mengikuti webinar dan juga memantau keberlangsungan program kerja. Tidak hanya sampai di situ, dia ikut banyak kegiatan relawan seperti kampanye dan membuat konten di media sosial. Terdengar amat padat, bukan? Awalnya baik-baik saja, tetapi lambat laun ia mulai kewalahan. Ternyata beban kuliah, skripsi, dan magangnya amat berat. Ditambah lagi organisasinya kelewat sibuk. Belum lagi kegiatan relawannya yang padat dan segala tugas harus dikerjakan secara cepat. Lama-lama, ia jadi sulit mengobrol bersama teman-temannya, jarang kumpul bersama keluarga sebab ia sering sekali di dalam kamar, mudah tersinggung padahal biasanya ia adalah orang yang tenang, bahkan ia sulit tidur sebab ia merasa bersalah jika ia tidur, banyak tugasnya yang belum diselesaikan, rasanya “salah” jika ia ambil waktu sejenak untuk istirahat. Ditambah lagi, ketika satu tugas selesai, ia langsung kerjakan tugas yang lain, tanpa mengapresiasi diri sendiri telah menuntaskan tugas yang sebelumnya. Hingga suatu waktu, ia tidak bisa bangkit sama sekali dari tempat tidur karena demam tinggi.
Nah, Soulmate LYS, apa yang bisa diambil dari contoh kasus di atas? Ya, produktivitas yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan mental dan juga fisik secara signifikan. Mulai dari suasana hati yang tidak stabil hingga sakit kepala yang tidak kunjung hilang, tahu-tahu sudah tumbang saja.
Wong (2021) menjabarkan ciri-ciri toxic productivity adalah sebagai berikut:
- Kelelahan mental dan fisik. Rasanya selalu lelah, letih, dan lesu setiap saat, seakan-akan punggung kita tengah memikul beban yang sangat berat dan banyak.
- Manajemen waktu yang berantakan. Kita selalu merasa tugas kita tidak ada selesai-selesainya, bahkan kadangkala kita harus mengerjakan beberapa tugas sekaligus.
- Tidak dapat istirahat dengan tenang. Bahkan, sedang istirahat saja yang muncul dalam pikiran kita malah pekerjaan kita. Rasanya santai, istirahat adalah sesuatu yang salah, belum cukup banyak tugas yang diselesaikan sehingga harus kembali bekerja, mengambil momen santai hanya buang-buang waktu saja, dan berbagai pikiran lainnya yang serupa.
- Mulai mempengaruhi fisik secara negatif, sebagai contoh sering pusing, mual, mulas, pegal-pegal, mata perih, dan lain sebagainya. Obat-obatan rasanya sudah jadi "teman" saking seringnya kita meneguknya.
- Suasana hati terombang-ambing, mudah tersinggung atau sedih, selalu merasa cemas setiap saat, hingga dalam taraf orang-orang di sekeliling kita menyadari bahwa suasana hati kita sedang sangat tidak baik, atau bahkan sampai menghindari dan takut pada kita.
Masih menurut Wong (2021), dan juga Hill (2021), penyebab kita dapat mengalami toxic productivity adalah:
- Social comparison, yaitu ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain, bisa dari segi pencapaian, finansial, kesibukan, dan sejenisnya. Biasanya, sering menggunakan media sosial untuk melihat aneka aktivitas orang lain dapat memicu kita melakukan social comparison dengan orang-orang yang kita lihat di media sosial kita.
- Tuntutan dari lingkungan sekitar. Bisa jadi, orang-orang di sekeliling kita meletakkan ekspektasi yang tinggi pada kita sehingga kita harus melakukan banyak sekali hal untuk dapat memenuhi harapan yang terlampau tinggi tersebut, hingga ada dalam tahap produktivitas kita telah mencapai titik yang tidak sehat bagi kesehatan fisik dan mental kita.
- Tuntutan dari diri sendiri. Ada kalanya, kita sendirilah yang memiliki ekspektasi yang terlampau tinggi pada diri sendiri. Misalnya, ada suatu pengalaman tak menyenangkan di masa lalu yang membuat kita jadi berpikir "aku harus sukses agar aku tidak mengalaminya lagi" sehingga kita menjadi individu yang sangat produktif, hingga dalam tahap produktivitas tersebut telah dapat dikategorikan sebagai toxic productivity.
Jika Soulmate LYS merasa Soulmate LYS telah mengalami toxic productivity, berikut adalah cara untuk menanggulangi toxic productivity yang dipaparkan oleh Neale (2022):
- Membuat agenda kegiatan yang terlihat, tidak hanya di dalam kepala saja, supaya kita secara sadar menyadari sudah seberapa banyak pekerjaan yang kita pegang. Dengan dapat melihatnya secara nyata, niscaya kita akan jauh lebih teliti memperhitungkan waktu kerja kita, waktu me time kita, waktu kita bersama keluarga dan teman, dan lain-lain.
- Mengenali diri sendiri, agar kita dapat memilih kegiatan yang sesuai dengan kemampuan dan minat kita, serta menyadari batasan diri seperti attention span kita, waktu tidur kita, nilai-nilai yang kita anut, dan sebagainya.
Semoga para pembaca artikel LoveYourself Indonesia tetap senantiasa aman dari jeratan toxic productivity! Jika masih terasa amat sulit, tidak apa-apa kok untuk datang mengunjungi profesional seperti psikolog, psikiater, dan peer counselor agar mendapatkan penanganan yang efektif dan efisien. Jangan lupa bahagia ya, Soulmate LYS! ♥️
SUMBER REFERENSI
Hill, D. (2021, October 14). What to Do When It Feels Like You Never Do Enough. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/striving-thriving/202110/what-do-when-it-feels-you-never-do-enough
Neale, P. R. (2022, January 22). When Doing is Your Undoing: Toxic Productivity. Psychology Today. Retrieved from https://www.psychologytoday.com/us/blog/leading-success/202201/when-doing-is-your-undoing-toxic-productivity
Wong, B. (2021, April 5). What Is Toxic Productivity? Here's How To Spot The Damaging Behavior. HUFFPOST. Retrieved from https://www.huffpost.com/entry/toxic-productivity-work_l_606655e7c5b6aa24bc60a566
Comments
Post a Comment