GRATEFUL VS. GRATITUDE
PENULIS: Rania Hendradwiputri
Menumbuhkan rasa syukur memang tidak semudah yang dinyatakan oleh banyak orang di sekeliling. Kadangkala, kita bilang "terima kasih" pada diri sendiri, pada orang lain, pada lingkungan sekitar, pada Yang Maha Kuasa, tetapi apakah kita betul-betul mengatakannya dari lubuk hati yang paling dalam? Renungkanlah baik-baik. Ya, mulai menerapkan secara berkala mengucapkan terima kasih pada diri sendiri, pada orang dan lingkungan, serta alam semesta dan entitas tertinggi di dunia ini sesuai dengan keyakinan kita, adalah langkah pertama menumbuhkan rasa, pikiran, perilaku senantiasa bersyukur, tetapi jangan sampai hanya sebagai formalitas dan autopilot, otomatis melakukannya hanya karena faktor eksternal seperti disuruh. Sayang beribu sayang, tidak demikian dinamika menumbuhkan rasa syukur yang sesungguhnya, menurut Rhoads (n. d.).
Rasa syukur bukanlah paksaan, bukanlah formalitas. Rasa syukur datang dari dalam diri, setelah menemukan hikmah dari suatu hal. Misalnya, kita baru saja menyaksikan acara seorang anak merawat orang tuanya yang sakit keras. Kita dapat bersyukur orang tua kita masih sehat, atau kita masih bisa bebas fokus melakukan aktivitas seperti sekolah, kuliah, atau kerja. Ya, akan ada saat ketika kita sulit memikirkan posisi kita bisa jadi jauh lebih baik dibanding segelintir orang di dunia jika kita tengah dipenuhi oleh emosi, pikiran negatif. Merasa lelah, tertekan, putus asa, wajar membuat kita merasa hidup ini amat menyakitkan, sulit dijalani dengan rileks, bahkan senantiasa diliputi kecemasan. Oleh sebab itu, adanya para profesional seperti psikolog dan psikiater, serta teman pendengar (peer counselor) yang siap mendampingi kita menemukan cahaya lagi di tengah kegelapan yang menyulitkan kita mensyukuri hidup. Masih banyak juga manusia baik, banyak komunitas kesehatan mental (support group) yang dapat kita jadikan tempat mencurahkan kesulitan hidup dan kita semua akan saling menopang, menyemangati satu sama lain.
Sejatinya, rasa syukur adalah dapat melihat sisi positif, dapat menarik makna positif dari segala hal yang terjadi (Rhoads, n. d.). Kita dapat berpikir "apa yang bisa saya pelajari dari peristiwa ini?", "walau pedih, sesungguhnya pengalaman ini mengajarkan saya suatu hal yang penting", "hidup ini sulit, tetapi masih ada beberapa orang yang sayang saya. Hanya bisa dihitung dengan jari, tapi tak apa-apa", dan semacamnya. Mengakui bahwa suatu hal memang ada, memang pedih, adalah langkah paling awal dari semua untuk dapat menemukan makna. Semua hal terjadi ada alasannya, baik cepat ditemukan atau tidak. Bisa jadi ada pengalaman ditinggal teman, agar dapat bertemu support group yang baik dan membangun? Sesederhana itu, membangun syukur.
Diingatkan kembali, jika sulit, tak perlu sungkan meminta tolong pada orang lain. Membangun syukur bisa jadi tidak sendiri, bisa perlu dampingan orang lain pula. Sehat fisik mental selalu ya, Soulmate LYS!
SUMBER REFERENSI
Rhoads, S. (n. d.). The Difference Between Gratitude and Thankfulness. Psychiatric Medical Care. Retrieved from https://www.psychmc.com/articles/difference-between-gratitude-and-thankfulness
Comments
Post a Comment